RUANGAKSELERASI.ID, MAKASSAR – Ahmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau, menegaskan bahwa masyarakat harus segera melakukan sertifikasi tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menghindari potensi sengketa dan ancaman mafia tanah. Regulasi baru akan menghapus pengakuan dokumen kepemilikan tanah tradisional seperti girik, petuk D, letter C, dan lainnya sebagai bukti kepemilikan sah mulai 2 Februari 2026.
Menurut Yusran, perubahan ini didasarkan pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, yang memberikan tenggat waktu bagi pemilik tanah untuk mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM) sebagai satu-satunya bukti kepemilikan yang diakui secara hukum.
“Mengurus SHM bukan hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga melindungi tanah dari potensi sengketa dan praktik mafia tanah,” ujar Yusran. Ia menambahkan bahwa banyak masyarakat masih bergantung pada dokumen kepemilikan tradisional yang ke depannya tidak akan memiliki kekuatan hukum.
Yusran mencontohkan bahwa di kawasan pesisir Karabba, Tallo, sejumlah tanah yang awalnya menggunakan bukti kepemilikan tradisional kini telah berubah status menjadi SHM setelah pemiliknya mendaftarkan tanah ke BPN. Ia menekankan pentingnya proses ini agar masyarakat tidak kehilangan hak mereka atas tanah yang dimiliki.
Lebih lanjut, Yusran menjelaskan bahwa SHM diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang memberikan hak penuh kepada pemiliknya untuk menguasai, menggunakan, serta memindahtangankan tanah tersebut.
Berbeda dengan dokumen kepemilikan tradisional, SHM memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap ancaman sengketa serta upaya perampasan lahan oleh mafia tanah. Selain itu, tanah bersertifikat juga lebih mudah diperjualbelikan dan dapat digunakan sebagai jaminan kredit di lembaga keuangan.
Pemerintah saat ini juga tengah mengembangkan sertifikat tanah elektronik, yang menurut Yusran akan meningkatkan keamanan dokumen kepemilikan dan mengurangi risiko pemalsuan. Dengan sistem ini, data kepemilikan tanah akan tersimpan secara digital, sehingga proses administrasi menjadi lebih efisien dan aman.
Jika pemilik tanah tidak segera mendaftarkan dan mengonversi tanahnya menjadi SHM sebelum tenggat waktu 2 Februari 2026, maka mereka berisiko mengalami berbagai permasalahan, di antaranya:
- Kesulitan dalam pembuktian kepemilikan tanah saat terjadi sengketa.
- Tidak memiliki kekuatan hukum dalam transaksi jual beli tanah.
- Rentan terhadap klaim dari pihak lain, termasuk mafia tanah.
- Tanah dianggap berstatus ilegal, sehingga tidak dapat digunakan sebagai jaminan kredit atau investasi.
“Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk segera mengurus sertifikat tanah agar status kepemilikan diakui secara sah oleh negara dan mendapatkan perlindungan hukum yang optimal,” pungkas Yusran.