RUANGAKSELERASI.ID, MAKASSAR – Artis Cinta Laura turut buka suara soal tambang nikel di Raja Ampat, Papua. Dia mempertanyakan, berapa nilai satu nyawa manusia, apakah satu tambang, satu kapal, pesiar, atau satu perjanjian srategis?
Saat izin ditandatangani dan dividen dicairkan, Cinta penasaran, apakah orang-orang tersebut masih ingat dengan wajah-wajah manusia yang dikorbankan dan ditinggalkan dengan tempat tinggal yang hancur dan tanah yang diracuni.
“Raja ampat adalah saalah satu surga terakhir di dunia. Tapi saat ini, di salah satu kawasan laut paling rapuh di dunia, perusahaan-perusahaan tambahng merobek hutan, mencemari air dan mencekik terumbu karang, semua demi nikel untuk menggerakan mobil listrik,” ujar Cinta dalam video yang diunggah di media sosialnya.
Cinta tahu, tindakan itu dilakukan katanya demi kemajuan. Tetapi dia mempertanyakan, hal itu demi kemajuan siapa.
Cinta ajak pelaku untuk tanya ke mama-mama di Papua yang sekarang kesulitan cari air bersih untuk memandikan anak, coba tanya nelayan yang pulang dengan jaring kosong, dan tak bisa memberi makan keluarganya.
“Coba tanya para tetua yang ngeliat hutan-hutan sakral mereka diratain. Harga sebenarnya dari tambang ini bukan sekedar logam yang diambil, tapi kematian cara hidup, putusnya ikatan suci antara manusia, tanah, laut dan budaya,” tegas dia.
Soal kenapa hal ini bisa terjadi. Menurutnya ada banyak faktor yang tidak bisa dijelaskan dalam satu video yang dia buat. Tetapi salah satu hal yang ingin dia bahas adalah soal moral disengagement.
“Kita membenarkan yang nggak bisa dibenarkan ‘ini demi Pembangunan nasional’, ‘cuma pulau kecil, yang lain kan masih ada’, ‘negara lain juga lebih parah kok, masa kita nggak boleh untung?’,” ujar Cinta.
Dari hal itu, keserakahan tumbuh pelan-pelan, sembuyi di balik rapat-rapat ber-AC, dibungkus jargon patriotisme. Apa yang awalnya hanya kompromi kecil soal etika, lama-lama jadi hal biasa. Sampai akhirnya seluruh ekosistem dan budaya pun dikorbankan tanpa rasa malu.
“Ini bukan soal kegagalan kebijakan, it is a failure of conscience, kegagalan hati nurai,” ujar dia.
Ironisnya masayakat Papua yang sekarang terdampak, dulu justru penjaga surga Raja Ampat. Mereka melindungi terumbu karang jauh sebelum dunia peduli dengan“konservasi”. Mereka hidup dengan satu kebenaran yang sekarang dilupakan, bahwa tanah sama laut itu bukan barang dagangan untuk dieksploitasi, tapi saudara yang harus dijaga.
Tapi kini suara masyarakat Papua dibungkam, hak mereka diinjak-injak, banyak izin tambang dikeluarkan tanpa persetujuan FPIC alias Free, Prior, Informes, Consent, hak yang dijamin oleh hukum internasional.
“Ada yang dipaksa, ada yang sama sekali tidak diajak bicara,” ujar dia.
Bagi masyarakat Papua di Raja Ampat, tanah, hutan dan laut adalah keluarga. Hutan punya makna sakral. Terumbu karang adalah bagian dari sejarah lisan, diwariskan turun-temurun. Irama pasang surut laut dan musim migrasi ikan, adalah bagian dari identitas budaya.
“Dan sekarang hutan-htuan sakral diratakan, laut jadi mati dan sunyi. Ilmu yang dulu diwariskan dari orang tua ke anak tentang laut dan alam jadi tak relevan lagi,” sebut Cinta.(*)