Di Hadapan DPD RI, Aktivis Lingkungan Soroti Ilegalnya Kaveling Hutan Bakau dan Laut Sulsel

Aktivis Lingkungan Soroti Ilegalnya Kaveling Hutan Bakau dan Laut Sulsel
forum Kunjungan Kerja Komite 1 DPD RI dalam rangka Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Tentang Perkotaan yang digelar di Kantor Gubernur Sulsel, Senin (3/2/2025).

RUANGAKSELERASI.ID, MAKASSAR – Ketua Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran, secara tegas mengungkap bahwa Sulawesi Selatan kini masuk dalam zona merah praktik mafia tanah. Temuan mengejutkan ini mencakup kawasan laut dan hutan bakau yang telah dikaveling dan bahkan disertifikatkan secara ilegal.

Pernyataan tersebut disampaikannya dalam forum Kunjungan Kerja Komite 1 DPD RI dalam rangka Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Tentang Perkotaan yang digelar di Kantor Gubernur Sulsel, Senin (3/2/2025).

“Saya angkat tadi dalam forum, dan sangat direspons oleh para pihak,” ungkap Ahmad Yusran kepada Ruangakselerasi.id.

Bacaan Lainnya

Menurutnya, praktik perambahan kawasan lindung terjadi di beberapa titik, salah satunya di Kabupaten Maros. Yang lebih mencengangkan, sejumlah lahan hutan bakau telah disertifikatkan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).

“Asli. Jadi tidak hanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di laut Makassar. Ada juga hutan bakau bersertifikat hak milik di Maros,” ungkap Yusran.

Padahal, hal ini jelas bertentangan dengan regulasi yang ada. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 18 Tahun 2021, disebutkan bahwa SHGB dan SHM tidak boleh terbit di atas laut. Hutan bakau sendiri secara ekologis masuk dalam kawasan laut, sehingga penerbitan sertifikat hak milik di wilayah tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum.

“Dalam aturan, kawasan yang bisa disertifikatkan minimal berjarak 100 meter dari titik surut. Tapi nyatanya, hutan bakau di Pantai Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros justru memiliki SHM. Ini sangat aneh,” tambahnya.

Lebih jauh, Yusran menilai bahwa praktik mafia tanah ini semakin merusak sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Yang lebih parah, praktik ini tampak seakan-akan legal akibat adanya keterlibatan oknum tertentu.

“Kerusakan sumber daya alam ini terjadi secara sah karena ulah mafia tanah,” tegasnya.

Padahal, kata Yusran, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 63 Tahun 2023 yang memandatkan pembentukan empat kelompok kerja untuk percepatan reformasi hukum. Salah satunya berfokus pada persoalan agraria dan sumber daya alam.

Salah satu persoalan utama dalam agraria adalah kepemilikan tanah yang tidak berkeadilan akibat maraknya praktik korupsi. Korupsi dalam perizinan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam menimbulkan konflik sosial dan mengancam hak-hak kelompok rentan, termasuk keadilan gender dan keberlanjutan lingkungan.

Selain itu, rendahnya kapasitas pemerintah akibat sentralisasi kewenangan juga memperparah situasi. Menurut Yusran, lemahnya pengawasan menyebabkan banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sasaran empuk praktik ilegal ini.

“Termasuk lemahnya penyelamatan dan pengamanan pesisir pantai serta pulau-pulau kecil dan terluar. Sejauh ini, pengelolaan agraria dan sumber daya alam masih jauh dari adil dan sangat timpang,” tegasnya.

Yusran berharap adanya penegakan hukum yang lebih ketat untuk memberantas mafia tanah di Sulawesi Selatan. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada ekosistem laut dan hutan bakau.

Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu dalam mengawal kebijakan agraria agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Reformasi agraria yang berkeadilan menjadi kunci utama dalam mengatasi persoalan ini dan melindungi sumber daya alam untuk generasi mendatang.(*)

Pos terkait