Respons Parpol soal Putusan MK Ubah Skema Pemilu

MK
Mahkamah Konstitusi

RUANGAKSELERASI.ID, MAKASSAR — Partai politik terus bersuara terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah skema penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah. Ada partai yang merasa diuntungkan dan tentunya ada pula menganggap MK melanggar undang-undang.

Diketahui, berdasarkan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah akan digelar terpisah mulai 2029.

Pemilu nasional yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres), DPR, dan DPD. Sementara Pemilu daerah mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

Bacaan Lainnya

Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal memililih lima kotak suara tak lagi berlaku 2029. Pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah akan ada jeda selama 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengaggap pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah sebagai langkah yang menguntungkan, baik dari sisi kepentingan politik maupun struktur partai.

Hal itu diutarakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Amir Uskara di sela pembukaan Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) IV Partai Persatuan Pembangunan Sulawesi Selatan ( PPP Sulsel ) di Four Point by Sheraton Hotel, Kota Makassar, Sabtu (28/6/2025).

Dalam pernyataannya, Amir menjelaskan bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Implikasi dari keputusan tersebut berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia hingga 2 sampai 2,5 tahun, menyesuaikan dengan jadwal baru pemilu daerah.

“Putusan MK itu langsung final dan mengikat. Jadi ada peluang masa jabatan teman-teman DPRD provinsi, kabupaten, dan kota diperpanjang sampai 2 atau 2,5 tahun. Ini karena pemilu daerah akan digelar setelah jeda waktu, paling cepat enam bulan dari sekarang,” ujarnya.

Amir juga menilai bahwa keputusan tersebut memberi keuntungan strategis bagi PPP. Ia menjelaskan bahwa selama ini penyatuan pemilu nasional dan daerah cenderung merugikan suara-suara lokal.

Dengan dipisahnya Pilpres dan Pileg pusat dari Pileg dan Pilkada daerah, aspirasi politik lokal dapat lebih diutamakan. “Selama ini, kepentingan nasional terlalu menonjol karena disatukan dengan kepentingan daerah. Akibatnya, isu dan kepentingan daerah sering terabaikan. Kalau sekarang, Pilpres akan berdiri sendiri dengan politik nasional, sementara Pileg dan Pilkada fokus pada kepentingan daerah. Ini menguntungkan kita di PPP,” tegas Amir.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhamad Mardiono, menyatakan dukungannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemilu nasional dan pemilu daerah akan dilaksanakan secara terpisah mulai 2029. Ia menilai, keputusan tersebut adalah langkah konstitusional yang harus dihormati dan dijalankan oleh semua pihak.

“PPP menyambut positif putusan MK ini. Sebagai bagian dari bangsa yang menjunjung tinggi konstitusi, kita wajib taat pada hukum. Ini keputusan final yang mengikat,” ujar Mardiono, saat penutupan Muskerwil IV PPP Sulsel di Four Point by Sheraton Hotel, Kota Makassar, Senin (30/6/2025).

Menurut Mardiono, pemisahan pelaksanaan pemilu membuka peluang bagi partai politik untuk lebih maksimal dalam menjalankan strategi dan kerja-kerja politik, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

“Dengan adanya pemisahan, kami bisa lebih fokus dalam menyusun agenda politik. Ketika pemilu nasional digelar, seluruh kekuatan diarahkan ke pusat. Begitu pula sebaliknya saat pemilu daerah berlangsung, partai bisa lebih mendalami isu dan aspirasi lokal,” jelasnya.

Meski demikian, ia juga mengakui ada konsekuensi logis yang harus diperhitungkan, terutama dari sisi anggaran. “Biaya tentu akan lebih besar karena pemilu dilakukan dua kali. Tapi dari segi efektivitas dan penguatan basis politik, pemisahan ini bisa memberi keuntungan tersendiri bagi PPP,” tambahnya.

Sambutan positif terhadap putusan MK juga dilontarkan Sekretaris DPD I Golkar Sulsel, Andi Marzuki Wadeng. Marzuki menilai putusan MK yang baru ini sangat ideal dalam pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan.

Apalagi dari segi biaya pelaksanaan Pemilu, Pilkada, maupun Pileg juga tidak akan terlalu membengkak. “Idealnya memang itu harus dipisah. Meskipun dari segi biaya mungkin juga ada sedikit mirip,” sebutnya.

Menurutnya, putusan MK ini merupakan suatu kemajuan dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. “Kalau saya melihatnya apa yang diputuskan MK itu paling tepat menurut saya. Artinya parti politik bisa fokus karena tidak bersamaan, tingkat daerah bisa lebih fokus mempersiapkan kader terbaiknya dan mempersiapkan mekanismenya agar pemilihan itu betul-betul berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh parti politik,” kata Marzuki.

Ia menyebut, proses Pemilu, Pileg, maupun Pilkada sebelumnya sangat merepotkan dan menguras energi. Baik di jajaran pengurus partai maupun penyelenggara itu sendiri dikarenakan mengurus secara bersamaan perhelatan politik tingkat nasional dan lokal.

“Karena yang kemarin itu serentak seluruh Indonesia. Itu betul-betul sangat merepotkan dari segi panitia (KPU dan Bawaslu), merepotkan juga bagi semua partai politik,” ungkapnya.

NasDem Minta Penjelasan MK

Partai NasDem mendesak DPR supaya meminta penjelasan lebih lanjut dari Mahkamah Konstitusi (MK) soal putusan pemisahan skema Pemilu. MK sebelumnya memutuskan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah diberi jeda.

“Partai NasDem mendesak DPR meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat, Senin (30/6/2025).

Rerie yang juga merupakan Wakil Ketua MPR mengatakan putusan MK tersebut telah melanggar UUD 1945 karena bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.

Kondisi ini, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis bahkan deadlock constitutional karena dapat melanggar konstitusi. Karenanya ia menilai Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Lebih lanjut, NasDem menilai MK dalam kapasitas sebagai guardian of constitution tidak diberikan kewenangan untuk merubah norma dalam UUD. Sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan Kepala Daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun merupakan inkonstitusional.

“MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” jelasnya.

“MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” imbuhnya.

MK sebelumnya memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.(*)

Pos terkait