RUANGAKSELERASI.ID, MAROS — Kabupaten Maros berhasil mencatatkan penurunan prevalensi stunting yang signifikan setelah berupaya selama dua tahun. Tercatat penurunan prevalensi stunting sebesar 12,3%.
Penurunan ini membawa angka stunting di Maros dari 34,7% pada tahun 2023 menjadi 22,4% per Juli 2025, angka yang kini berada di bawah rata-rata provinsi Sulawesi Selatan (23%). Capaian ini menempatkan Maros selangkah lebih dekat dengan target nasional, meskipun masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Menurut Bupati Kabupaten Maros AS Chaidir Syam didampingi Wakil Bupati Maros, Muetazim Mansyur, menjelaskan meski target provinsi telah terlampaui, pemerintah daerah akan terus menggenjot upaya percepatan.
“Tingkat penurunan stunting di Sulsel sekitar 12,3%. Kita sudah berada di bawah angka provinsi, tapi target nasional 19,8% belum tercapai. Karena itu, gerakan-gerakan percepatan tetap dilakukan,” ucap Chaidir.
Dari total 29.201 balita di Maros, masih ada sekitar 3.700 balita yang masuk dalam kategori stunting. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maros telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 60 Miliar, atau 4% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Saat konferensi pers di KORPRI Lounge, Sekretaris Daerah Kabupaten Maros, Andi Davied Syamsuddin, menjelaskan bahwa penurunan angka stunting ini merupakan hasil dari pergeseran strategi layanan. Kini, layanan tidak lagi terpusat di tingkat kabupaten, melainkan langsung menyasar kecamatan dan desa.
Beberapa upaya yang dilakukan meliputi pendataan balita stunting secara akurat, percepatan rujukan bagi balita dengan penyakit penyerta, bantuan administrasi kependudukan, serta intervensi gizi yang lebih terfokus.
Pendataan akurat ini didukung oleh pemanfaatan sistem Electronic Pelaporan Pendataan Gizi Masyarakat (EPPGM). Data terbaru EPPGM menunjukkan bahwa kasus stunting tertinggi berada di Kecamatan Tanralili (530 kasus) dan Turikale (529 kasus). Meskipun demikian, Sekda Maros menyebut bahwa angka ini merupakan penurunan dari tahun sebelumnya, di mana Bontoa dan Mandai menjadi kecamatan dengan kasus tertinggi.
“Tahun lalu Bontoa dan Mandai yang paling tinggi, sekarang sudah turun. Lokus tetap dilakukan di sana, tapi akses intervensi kita fokuskan di Tanralili dan Turikale,” ujarnya pada Senin (11/08/2025).
Tidak hanya intervensi gizi, Pemkab Maros juga telah melakukan pencegahan stunting dari hulu, yaitu dengan menekan angka pernikahan dini.
Hal ini disampaikan oleh Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana, Andi Riswan Akbar, menyebut bahwa pihaknya rutin memberikan konseling kepada calon pengantin yang berusia di bawah 19 tahun.
Pada tahun 2024, tercatat ada 11 kasus pernikahan dini yang ditangani, dan tujuh di antaranya berhasil dibatalkan. Sementara itu, dari Januari hingga Juli 2025, ada sembilan kasus yang terdiri dari satu laki-laki dan delapan perempuan.
Dengan kombinasi intervensi gizi, layanan kesehatan yang merata, pendataan yang akurat, dan upaya pencegahan pernikahan dini, Pemkab Maros optimis dapat mencapai target nasional dan menekan angka stunting hingga ke titik terendah pada tahun 2026.(DisKominfo SP)